Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini mengingatkan presiden terpilih Prabowo Subianto agar tidak asal memilih menteri perindustrian sehingga pertumbuhan ekonomi tidak lagi stagnan di kisaran 5% seperti selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Didik meyakini, industrialisasi merupakan kunci utama untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kendati demikian, sambungnya, pemerintahan Jokowi dalam 10 tahun terakhir malah fokus ke kebijakan hilirisasi bukan industrialisasi.
"Jadi karena itu nanti milih menteri perindustrian harus yang bener, jangan asal-asalan," kata Didik dalam forum Melanjutkan Kritisisme Faisal Basri secara daring, Minggu (15/9/2024).
Rektor Universitas Paramadina ini mencontohkan, keterpurukan industri dalam negeri terlihat dari defisit neraca perdagangan Indonesia. Terbaru pada kuartal II/2024, Bank Indonesia membukukan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) Indonesia mencapai US$3 miliar atau 0,9% dari produk domestik bruto (PDB)
Menurut Didik, fakta tersebut karena ekspor masih lemah dan tergantung kepada komoditas bahan mentah. Dalam konteks ekspor, dia meyakini Indonesia sudah kalah dari Vietnam dan segera dilampaui Bangladesh.
Oleh sebab itu, dia mendorong agar kebijakan-kebijakan pembangunan ke depan didorong untuk industrialisasi. Apalagi, Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%.
Baca Juga
"Saya kira itu [industrialisasi] dijadikan isu yang paling penting ya. Selama industri ini jeblok, jangan harap ekonomi itu tumbuh dengan baik," tegas Didik.
Lebih lanjut, Didik juga mengingatkan agar Prabowo tidak melanjutkan kebijakan utang Jokowi yang dinilai sangat ugal-ugalan karena berpotensi menyebabkan krisis. Dia mencontohkan, pemerintah mengeluarkan surat berharga negara (SBN) hingga Rp1.500 triliun pada 2021—2022.
Masalahnya, Didik melihat kebijakan ugal-ugalan pemerintah tersebut seakan tidak dikontrol oleh parlemen. Akibatnya, yang akan menanggung merupakan pemerintahan ke depan.
"Suatu krisis [pandemi Covid-19] justru dijadikan kesempatan untuk mengetruk utang sebanyak-banyaknya sehingga defisit itu semakin besar," katanya.